0 Comment
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho (Samsudhuha/detikcom) Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho (Samsudhuha/detikcom)

Jakarta - Satu tahun bergelut dengan kanker paru stadium IV B yang menyebar ke seluruh badan memang bukan hal mudah. Namun Kepala Pusat Data dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho membuktikan, bekerja sambil tetap menjalani pengobatan yakni hal yang mungkin. Salah satu duduk perkara yang dirasakan Sutopo yang masih menjalani pengobatan yakni dilema pembiayaan pengobatan.

Sutopo pernah mencicipi pelayanan dengan dan tanpa jaminan dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hasilnya, Sutopo tahu benar kekurangan dan kelebihan dari dua versi pelayanan tersebut. Secara garis besar, pelayanan dengan BPJS Kesehatan sangat meringankan beban ekonomi masyarakat yang sedang sakit. Namun masyarakat harus menghadapi kualitas pelayanan yang serba terbatas, berbeda dengan yang membayar sendiri.

"Kita harus nunggu 2 bulan untuk radiasi kalau pakai BPJS Kesehatan. Untuk pasien kanker yang selalu berkejaran dengan pertumbuhan sel, waktu tunggu ini sangat usang yang berisiko bagi penyembuhannya. Kita beruntung tinggal di Jakarta dengan banyak rumah sakit yang sanggup melayani radiasi, namun bagaimana dengan yang di luar kota. Sebaiknya harus ada perbaikan pelayanan kesehatan terutama bagi pasien yang rentan, semoga waktu tunggu investigasi dan pelayanan lain tidak terlalu lama," kata Sutopo pada detikHealth, Senin (4/2/2019).



Dengan kondisinya ketika ini, Sutopo butuh keleluasaan untuk berkonsultasi seputar perkembangan penyakit dan pengobatannya sampai tuntas. Seluruh hasil investigasi harus diperiksa dengan cermat, sebelum memutuskan obat yang harus dikonsumsi atau jenis terapi yang harus dilakukan. Namun mahalnya biaya terapi dan obat tidak sejalan dengan kantong pasien yang makin tipis.

Sejak dinyatakan positif kanker pada Desember 2017 sampai kini, Sutopo memperkirakan sudah menghabiskan biaya pengobatan lebih dari Rp 500 juta. Sutopo yang menjalani pengobatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto sempat menerima terapi Trans Arterial Chemo Infusion (TACI). Menurut Sutopo, terapi ini menyerupai Digital Subtraction Angiography (DSA) dengan memasukkan sejenis kateter ke dalam tubuh. Dengan metode yang bertujuan meningkatkan efektivitas pengobatan ini, kateter akan mencari sel kanker induk di dalam tubuh. Setelah ketemu, obat kemo akan langsung disemprotkan ke sel kanker induk dengan cita-cita pertumbuhannya segera berhenti.

Dokter menyarankan TACI sebanyak 6 kali, namun Sutopo berhenti ketika terapi gres dijalankan 2 kali. Selain tidak mendapati kemajuan penyembuhan, Sutopo harus mengeluarkan biaya Rp 90 juta dan Rp 80 juta untuk TACI. Atas saran dokter, Sutopo kesudahannya menentukan pengobatan dengan radiasi, kemoterapi lewat infus, dan operasi bila diperlukan. Untuk kemoterapi yang berlangsung 10 jam, Sutopo harus mengeluarkan biaya Rp 23 juta yang kadang belum termasuk obat-obatan. Sedangkan untuk radiasi, Sutopo telah 32 kali melakukanya dan sekarang tidak lagi diresepkan dokter.
Tidak ada gunanya mengeluh sebab justru menambah rasa sakit. Seluruh proses pengobatan ini harus dilalui kalau ingin membaik atau tidak bertambah buruk. Sutopo Purwo Nugroho - Warrior Kanker Paru Stadium 4B

Saat ini, sebagian pembiayaan terapi masih ditanggung Sutopo sendiri. Namun selanjutnya tak menutup kemungkinan dirinya menentukan memakai BPJS Kesehatan seutuhnya. Hal ini akan meringankan Sutopo yang masih harus membeli sendiri obat lain yang tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Misal plester dengan kandungan zat antinyeri morfin yang harganya sanggup mencapai Rp 500 ribu per bungkus. Plester ditempelkan di pecahan badan yang sakit usai kemoterapi selama 3 hari. Efek antinyeri dalam plester biasanya akan hilang 2-3 hari usai dilepas.



Sama menyerupai pasien lain, Sutopo harus bergelut dengan lamanya antrean BPJS Kesehatan yang terkadang tak sebanding dengan pelayanan. Durasi pelayanan kurang dari 5 menit sedangkan antre sanggup dari pagi sampai sore. Sutopo menilai kondisi ini tidak baik untuk pasien yang sudah stres dengan pengobatan apalagi yang terus dibayangi kematian. Hal ini juga tidak baik bagi pasien yang kondisinya kritis atau perlu pengobatan secepatnya. Sutopo mengumpamakan kondisi ini layaknya kelompok masyarakat yang rentan menjadi korban peristiwa yaitu ibu hamil, lansia, anak, dan disabel yang harus segera ditolong.

"Saya anggap ini usaha sebab memang kondisinya menyerupai itu. Saat antre, saya sering ketemu pasien lain yang juga sedang sakit dan saling menyemangati. Saya juga sering foto bareng dengan pasien, suster, atau dokter. Tidak ada gunanya mengeluh sebab justru menambah rasa sakit. Seluruh proses pengobatan ini harus dilalui kalau ingin membaik atau tidak bertambah buruk," kata Sutopo.

Dengan tekad tersebut, Sutopo akan melanjutkan pengobatan melawan kanker. Tentunya dengan tidak melupakan kiprah sebagai pembawa informasi seputar duduk perkara kebencanaan. Sutopo berharap tekad serupa sanggup dimiliki penyintas kanker lainnya, sedangkan yang sehat sanggup lebih menghargai kondisinya ketika ini.



Bagaimana usaha Sutopo melalui itu semua? Berikut ini detikHealth menghadirkan video wawancara langsung dengan sang pejuang kanker.

[Gambas:Video 20detik]



Post a Comment

 
Top