0 Comment
Ilustrasi anak sakit penyakti langka. Foto: Thinkstock Ilustrasi anak sakit penyakti langka. Foto: Thinkstock

Jakarta - Dalam dunia kedokteran, penyakit langka dianggap salah satu fenomena luar biasa. Secara umum ada 6.000-8.000 jenis penyakit yang sanggup diklasifikasikan sebagai penyakit langka. Di Indonesia, suatu penyakit dikatakan langka jikalau penyakit tersebut dialami kurang dari 2.000 orang di suatu negara.

Pada kurun waktu terakhir, ada beberapa anak yang terdiagnosis mengidap penyakit langka. Seperti penyakit Pompe, Poland syndrome, sampai Bruck syndrome yang hanya mempunyai catatan 40 kasusnya di dunia. Lalu, seberapa siap Indonesia dalam menangani penyakit langka?

Menurut Dr dr Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A(K), Ketua Divisi Nutrisi & Penyakit Metabolik IKA Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Cipto Mangunkusumo, santunan dari pemerintah Indonesia soal penyakit langka belum maksimal. dr Damayanti sendiri telah menangani pasien penyakit langka semenjak tahun 2001 dan mempunyai timnya sendiri.


"Walau memang penyakit langka itu 95 persen belum ada obatnya, tapi kan yang 5 persen sudah ada obatnya. Cuma obatnya itu tidak terjangkau. Satu, nggak ada di Indonesia. Dua, kalau ada pun harganya mahal sekali. Ada dulu pasien saya diagnosis di usia 2,5 tahun, gres sanggup obatnya di usia 14 tahun," tuturnya ketika diwawancarai detikHealth di daerah Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (23/1/2019).

Selain obat atau yang disebut orphan drugs dan orphan foods untuk para pengidap penyakit langka, soal diagnostik dr Damayanti menyebut belum mempunyai staff dan alatnya. Sehingga untuk diagnostik masih mengandalkan pengiriman sampel ke laboratorium diagnostik ke negara tetangga menyerupai Taiwan, Australia, dan Malaysia.

Berlanjut ke soal penanganan, di mana membutuhkan alat yang umumnya cukup mahal baik dalam penggunaan maupun jikalau harus dibeli. Ia mencontohkan pada masalah Dito, anak pengidap penyakit langka Pompe pertama di Indonesia, yang membutuhkan ventilator sebagai alat bantu, yang harganya cukup mahal.


"Sekarang sudah ada beberapa perusahaan yang mau membantu, total ada 9 anak yang sudah mendapat kontribusi obat. [Jenis penyakitnya] biasanya Mukopolisakaridosis (MPS), Gaucher, yang gres ini Pompe. Ini kita lagi sosialisasi juga, lagi nyari dana untuk beli ventilator untuk di rumah," imbuh beliau lagi.

dr Damayanti mengungkapkan di Indonesia juga mempunyai dilema keterbatasan dalam regulasi. Karena kebanyakan hanya sanggup didapatkan dari luar negeri dan sering bermasalah di bab bea cukai alasannya belum terdaftar, sampai kesudahannya keluarga pengidap penyakit langka harus merogoh kocek berkali-kali lipat untuk membayar pajak.

Bersyukur di tahun 2016, kesudahannya disepakati alur pembebasan biaya masuk obat melalui jalur organisasi pasien yang berbadan aturan untuk obat-obat yang tidak didanai BPJS Kesehatan. Dan di tahun 2017 lalu, sejumlah instansi pemerintah yakni BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan), Kementerian Kesehatan, dan Direktorat Bea Cukai Kementerian Keuangan bantu-membantu menyepakati jalur terusan emergensi untuk obat dan masakan bagi pasien penyakit langka.

"Kita inginnya obatnya terjangkau, jadi sedang diusahakan untuk sanggup masuk ke BPJS [Kesehatan]," tutup dr Damayanti.

Post a Comment

 
Top