0 Comment
Pasien BPJS Kesehatan. Foto: Grandyos Zafna/detikHealth Pasien BPJS Kesehatan. Foto: Grandyos Zafna/detikHealth

Jakarta - Pemerintah telah menetapkan hukum perihal urun biaya dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomer 51 Tahun 2018. Namun penerapan hukum bersama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan urung terlaksana.

Pemerintah sebelumnya menyatakan, urun biaya hanya diterapkan pada peserta BPJS Kesehatan dengan layanan tertentu. Jenis layanan ini rentan disalahgunakan sebab perilaku dan selera pasien.

Wakil Ketua Komisi Kebijakan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Ahmad Ansori menyarankan pemerintah mempertimbangkan jenis layanan dengan baik. Pertimbangan harus mendengarkan bunyi masyarakat sebagai akseptor manfaat BPJS Kesehatan.

"Jenis layanan ini tidak hanya mengobati tapi juga mengedukasi masyarakat. Misal pada peserta yang sakit sebab rokok atau imbas alkohol. Kasus menyerupai ini sebaiknya jadi pertimbangan utama," kata Ahmad pada detikHealth, Minggu (20/01/2019).



Menurut Ahmad, urun biaya yaitu kebijakan yang biasa diterapkan pada negara dengan jaminan sosial. Ahmad merujuk pada Jepang yang menetapkan hukum serupa, termasuk pada masyarakat yang tidak mampu membayar premi jaminan sosial.

Jepang, berdasarkan Ahmad, menetapkan besaran urun biaya 10, 20, dan 30 persen. Besaran 10 persen ditujukan pada belum dewasa dan lansia berumur lebih dari 80 tahun. Untuk 20 persen diterapkan pada kelompok pelajar.

Besaran 30 persen yaitu untuk kelompok pekerja, yang umumnya berusia produktif. Negara mengambil alih kewajiban urun biaya pada masyarakat yang tak mampu membayar, atau di Indonesia disebut Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Ahmad berharap, penetapan hukum dapat melengkapi struktur kebijakan BPJS Kesehatan yang masih mempunyai kekurangan. Aturan belum menetapkan tanggung jawab masyarakat atau peserta BPJS Kesehatan untuk menjaga kondisinya. Upaya promotif dan preventif harus diutamakan, daripada kuratif atau pengobatan.

Post a Comment

 
Top